PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBAHARUAN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK DI RANAH MINANG

PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBAHARUAN

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK DI RANAH MINANG

Adlan Sanur Tarihoran[1]

Abstract

Artikel ini melakukan kajian tentang pemikiran teologi pembaharuan dari Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi di Rananh Minang (Baca Minangkabau). Adapun yang menjadi pertanyaan utama dari artikel ini adalah Bagaimana latar belakang dan fase gelombang pembaharuan yang muncul di Ranah Minang? Bagaimana Model gerakan pemikiran teologi pembaharuan Sjech M. Djamil Djambek yang dilakukan di Ranah Minang?. Jenis penelitian artikel ini merupakan jenis penelitian library research atau Studi Pustaka dengan melakukan pengumpulan data atau studi dokumentasi terhadap artikel atau tulisan yang berkaitan dengan objek yang mau dikaji lalu diadakan interpretasi terhadap data yang ditemukan tersebut. Dari paparan yang ada maka kesimpulan dari artikel ini menunjukan bahwa latarbelakang gerakan pembaharuab muncul dikarenakan berbagai faktor dan di iringioleh adanya fase gelombang gerakan pembaharuan ke ranah Minang melalui berbagai gelombang. Pertama yaitu propoganda. Kedua, gerakan bersifat militerisme Ketiga, mengubah perilaku  masyarakat. Sedangkan model yang dilakukan untuk membumikan pemikiran teologi pembaharuan oleh Sjech M.Djamil Djambek di ranah minang melalui berbagai jalur. Adapun Jalur yang dipakai dengan pendidikan, ceramah dan diskusi dengan berbagai tokoh. Ide pembaharuannya bersifat persuasif, komunikatif, kompromistis, dan tetap menjalin hubungan yang harmonis para penentang yang tidak sepaham dengannya.

Keywords: Sjech M. Djamil Djambek, Teologi Pembaharuan


Latar Belakang Pemikira

      Pembaharuan dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan. Dimana pembaharuan suatu upaya yang dinamis dan berkelanjutan untuk menyesuaikan ajaran dan praktik Islam dengan tantangan zaman modern. Pembaharuan yang berupa perubahan yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh kemajuan pada setiap bidang. [3] Dalam pemaknaan lainnya pembaharuan yang secara ontolgy dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Tajdid, yaitu memperbaharui, sedangkan pelakunya disebut Mujaddid yaitu orang yang melakukan pembaharuan. Dalam makna mendalam tajdid menurut bahasa dimaknai dengan al-i’adah wa al-ihya’, mengembalikan dan menghidupkan. Ulama salaf memberikan arti tajdid sebagai cara menerangkan atau membersihkan sunnah dari bid’ah, memperbanyak ilmu dan memuliakannya, membenci bid’ah dan menghilangkannya. [4]

     Memang mesti diakui bahwa munculnya ide atau gagasan dari pemikiran selalu saja terus mengalami perkembangan. Setidaknya ada tiga tahapan yang muncul yang beranjak tahapan teologis, ontologis dan fungsional. [5] Semua itu dalam rangka upaya untuk melakukan dan menjadikannya sebagai gerakan pembaharuan dan koreksi yang terus menerus dalam setiap pergerakan yang untuk menghadapi tantangan dan berbagai persoalan. Makanya gerakan pembaharuan dalam dunia Islam bisa dilihat dalam berbagai model dan tipologi yang dikembangkan oleh para tokoh Islam. [6]

       Kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya makna terdalam dari pembaharuan itu adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk biasa hidup sesuai tuntutan hidup masa kini. Modernisasi atau pembaharuan bisa juga disebut dengan “reformasi”, yaitu membentuk kembali, atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan sebagai sebuah perbaikan. [7] Gerakan pembaharuan yang muncul di dunia Islam juga ternyata sampai dan bergema ke Minangkabau melalui berbagai faktor. Walaupun  mesti diakui bahwa ranah Minangkabau sebagai  pusat perkembangan Islam yang dimasuki oleh gerakan pembaharuan tersebut memiliki karakter unik dan punya namika tersendiri. Sebagaimana diketahui antara adat dan agama Islam hidup secara berdampingan. Adagium atau pepatah yang seringkali digaungkan yaitu "Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" artinya adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an, menggambarkan  sinergi  antara  adat Minangkabau dengan  nilai-nilai  Islam. Oleh karenanya sekitar pada abad ke 18 M telah terjadi sebuah gerakan sosial yang melakukan perubahan besar di pusat keagamaan orang Minangkabau. Gerakan sosial ini awalnya merupakan gerakan pemurnian ajaran Islam yang dimotori oleh para ulama yang muncul di Minangkabau.

      Diantara model atau karakteristik bidang gerakan pembaharuan yang dilakukan di ranah minang adalah dalam bidang teologi. Beberapa tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Sjech M. Djamil Djambek. Inyiak Djambek dikenal sebagai ulama pembaharu di Sumatera Barat atau ranah Minang. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena pemberian identitas sebagai tokoh pembaharuan dalam bidang teologi kepada Inyiak Djambek tentunya melalui identifikasi model dan corak dari seorang pembaharuan dalam bidang itu yang dilakukannya sendiri. Makanya berbagai sumber atau hasil penelitian telah menyebut bahwa Inyiak Djambek sebagai tokoh pembaharu yang disandingkan dengan beberapa tokoh yang muncul di ranah Minang bahkan diidentifikasi sebagai tokoh pelopor Islam seperti tokoh lainnya Sjech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Abdullah Ahmad, Jalaluddin Thaher, Buya HAMKA, dan tokoh lainnya baik yang sezaman dengan beliau maupun tokoh yang muncul pada abad 19 dan abad 20. [8] Model atau pendekatan inilah yang akan ditelisik lebih jauh nantinya.

      Berdasarkan beberapa hal telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan, bahwa gerakan pembaharuan telah muncul di Minangkabau namun perlu dilacak lebih jauh tentang latar belakang dan sejarah tentang kemunculan gerakan pembaharuan ini di ranah minang. Sedangkan dalam gerakan pembaharuan tersebut telah memunculkan beberapa tokoh. Salah seorang tokoh yang akan dilihat atau dikaji dalam tulisan ini adalah Sjech M. Djamil Djambek yang dianggap sebagai tokoh pembaharuan dalam bidang Teologi di ranah minang dengan melihat model pembaharuan yang dilakukan dalam pembumian ide-ide dari teologinya tersebut. Maka artikel ini berangkat dari Rumusan Masalah: Bagaimana model atau pendekatan pembaharuan teologi dari Sjech M. Djamil Djambek di ranah minang? Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah: bagaimana latar belakang dan sejarah tentang kemunculan gerakan pembaharuan ini di ranah minang? Bagaimana model pembaharuan yang dilakukan Sjech M.Djamil Djambk dalam pembumian ide-ide dari teloginya tersebut?

Teologi Pembaharuan

      Secara konseptual dapat dipahami bahwa Teologi merupakan ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan antara Tuhan dan manusia, sifat dan kekuasaan Tuhan serta hubungan sesama manusia yang berlandakan nilai-nilai norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam doktrin keagamaan atau perintah Tuhan kepada manusia. [9] Agar ajaran-ajaran dalam teologi memiliki nilai fungsional bagi kemajuan, pengembangan dan peningkatan kondisi hidup masyarakat yang lebih baik dalam berbagai aspek, seperti bidang Ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, kesehatan, spiritual, politik dan lain-lain. Maka pemikiran teologi mestinya dipandang sebagai sebuah produk keilmuan. Agar teologi dapat dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan manusia di zamannya. [10]

     Sepanjang referensi yang telah ditelusuri bahwa teologi pembaharuan sesungguh merupakan sebuah istilah modern yang digunakan untuk menggambarkan gerakan-gerakan dalam berbagai agama yang bertujuan untuk memperbarui pemahaman dan praktik keagamaan agar lebih relevan dengan konteks zaman modern. Meskipun istilah ini relatif baru dimunculkan, akar-akar gerakan pembaharuan agama sebenarnya telah ada sejak zaman dahulu. Bahkan di Eropah abad ke 20 studi tentang teologi agama dengan konsep teologi pembebasan sudah banyak dilakukan. [11]

      Dalam pemaknaan yang lebih konseptual teologi pembaharuan adalah sebuah gerakan intelektual dan keagamaan yang bertujuan untuk merevitalisasi ajaran agama agar lebih relevan dengan konteks zaman modern. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, perubahan sosial, dan globalisasi. Hal ini disebabkan karena kepercayaan maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. [12]

      Tujuan utama teologi pembaharuan adalah dalam kerangka untuk merekontekstualisasi ajaran agama, menginterpretasi kembali ajaran agama agar sesuai dengan pemahaman manusia modern tanpa mengabaikan esensi ajaran tersebut. Hal lain juga tentunya untuk menghilangkan praktik-praktik yang tidak relevan dengan jalan menghapuskan praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang murni atau bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Serta yang sangat penting untuk memperkuat peran agama dalam kehidupan modern dengan pemhaman bahwa agama tidak hanya relevan di masa lalu, tetapi juga dapat menjadi sumber inspirasi dan solusi bagi permasalahan kontemporer. Hal ini nantinya terlihat munculnya isu neo modernisme di Indonesia. [13]

      Kalau diidentifikasi lebih jauh maka ciri-ciri teologi pembaharuan bisa dilihat dari corak cara berfikir yang kritis terhadap tradisi, dimana teologi pembaharuan mendorong umat beragama untuk berpikir kritis terhadap tradisi dan tidak sekadar menerima begitu saja. Bahkan teologi pembaharuan sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Adanya pengakuan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan berusaha untuk menyelaraskan ajaran agama dengan temuan-temuan ilmiah. Manusia sebagai tokoh sentral dalam teologi pembaharuan dijadikan subjek utama dalam beragama dan menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Dalam teologi pembaharuan adanya dorongan untuk dialog antar agama dan antar budaya serta menghargai keberagaman. [14] Oleh karenanya teologi pembaharuan adalah sebuah upaya yang terus berkembang untuk menjaga relevansi agama dalam kehidupan manusia modern. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, gerakan ini terus memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya pemikiran keagamaan dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.Dalam hal ini suatu upaya untuk memperbarui atau mereformasi pemahaman dan praktik keagamaan sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Konsep ini seringkali berhubungan dengan ijtihad, yaitu usaha untuk memahami dan menginterpretasikan ajaran Islam melalui metode analisis kritis dan kontekstual.


M. Sjech Djamil Djambek

a. Profil dan Latar Belakang Kehidupan Inyiak Djambek

      Muhammad Djamil Djambek yang biasa dipanggil dengan Inyiak Djambek adalah seorang putra terbaik Kurai. I n y iak  Djambek  lahir  di  Kurai,  Bukittinggi  pada  tanggal  4 Januari 1863. Beliau berasal dari keluarga bangsawan dan hartawan. Ayahnya bernama Muhammad Saleh Datuk Maleka dan biasa dipanggil "Inyiak Kapalo Jambek". Ia adalah seorang Kepala Nagari Kurai dan Datuak dalam suku Guci yang cukup disegani. Ibunya seorang transmigran asal Sunda, panggilan populernya Cik Inyiak Djambek. Ia merupakan anak sulung yang memiliki dua orang adik perempuan bernama Salamah dan Nafirah. Inyiak Djambek menempuh pendidikan di Sekolah Rendah Gubernement Kweekschool di Bukittinggi. Setamat dari Kweek- school, beliau memilih untuk menjadi parewa (preman) yang ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tahun 1882, sejak Inyiak Djambek berjumpa dengan Tuanku Kayo Mandiangin, yang mentransmisikan kepadanya nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia, pola tingkah lakunya berubah. Dia meninggalkan dunia parewanya dan tertarik mendalami ilmu agama. Ia belajar ke berbagai surau di Minangkabau seperti surau di Koto Mambang, Pariaman, juga di Batipuh Baru, Padang Panjang. [15

      Sjec h M . Djamil Djambek dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, dan mendirikan rumah ibadah yang dikenal dengan Surau Sjech M. Djamil Djambek pada tahun 1908 atau sekitar seabad yang lalu. Sjech M. Djamil Djambek memang telah lama meninggalkan kita, sebagai ulama Sjech M. Djamil Djambek tidak hanya meninggalkan karya­karya besar dalam bentuk manuskrip, tradisi lisan, bahasa dan sastra, kelembagaan tradisional, buku dan naskah­nas­ kah kuno dalam bahasa Arab Melayu, tetapi Beliau juga mewariskan Surau sebagai aset lokal alam tamadun kejayaan Islam Minangkabau pada tempo dulu, tentu dengan harapan dihari­hari mendatang akan dikembangkan oleh generasi penerus (keluarga dan masyarakat Islam) sesuai dengan kebutuhan zaman.


b. Rekam Jejak Intelektual M.Djamil Djambek

Pada tahun 1896, Inyiak Djambek diajak ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan ke Mekah, ayahnya meninggal dunia. Inyiak Djambek menjadi seorang yatim dan diasuh oleh Syeh Salim, seorang ulama di Mekah. Selama 9 (sembilan) tahun lamanya, beliau bermukim di Mekah mencurahkan perhatian untuk selalu tekun menuntut ilmu-ilmu agama. Guru- gurunya di Mekah antara lain Syeh Ahmad Khatib Kumango, Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak, dan Syeh Jalaluddin Azhari. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang ia dapatkan. Dia belajar intensif tentang ilmu tarekat dan mengikuti suluk di Jabal Abu Qubais. Di sini beliau menjadi ahli tarikat dan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Inyiak Djambek juga belajar Ilmu Falak dengan Syekh Taher Djalaluddin, yang mengakui kehebatan dan keunggulan Inyiak Djambek dalam ketepatan perhitungan Ilmu Falak.[16]

Setahun tinggal di Mekah, Inyiak Djambek berjumpa dengan Syeh Ahmad Khatib Minangkabawi. Beliau adalah ulama asal Nagari Balai Gurah, Bukittinggi, yang termasyhur sebagai guru besar di Mekah dan menjadi Imam Besar di Masjidil Haram. Ahmad Khatib berhasil menyadarkan Djamil Jambek untuk meninggalkan ilmusihir, yang ketika itu sedang dipelajarinya dari orang Maroko. Inyiak Djambek adalah seorang ulama yang ikhlas, tulus dalam beramal, dan bertanggung jawab dalam menyebarluaskan ilmu-ilmunya.

Beliau secara langsung bertablig mendatangi dan mengunjungi umatnya, baik di perkotaan maupunpedesaan. Beliau orang yang rendah hati, tanpa pilih-pilih teman kaya ataupun miskin. Inyiak Djambek ingin membuktikan bahwa sebagai ulama tidak selalu harus berada pada posisi orang yang elit dalam Pendidikan serta selalu dicari orang-orang yang membutuhkannya. Akan tetapi, beliau juga berusaha membagi ilmu ataupun harta yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan. Inyiak Rasul melalui Hamka pernah mengatakan bahwa Inyiak Djambek merupakan figur ulama yang unik. Pengalaman-pengalaman hidupnya saling kontradiktif, apa lagi dalam waktu yang relatif singkat untuk melakukan proses penyesuaian diri, namunpribadinya ternyata sanggup beradaptasi secara baik dan cepat. Ia mampu menduduki posisi atas yang pada hakekatnya tidak tergambar pada lingkungan sebelumnya.

Sebagaimana telah disampaikan di atas tadi bahwa ketika di Mekkah ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Pergelutan dengan tokoh tersebut membuat dirinya tersadar dan banyak belajar tarekat. Oleh karenanya selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang ia dapatkan. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Syekh Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Thawalib Padang Japang, Lima Puluh Kota) yang kemudian berganti nama menjadi Darul Funun El Abbasiyah.[17]

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.

Dengan keahliannya dalam Ilmu Falak, Inyiak Djambek menetapkan  arah kiblat salat, mencari tahu waktu gerhana bulan dan matahari, menetapkan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal, juga menyusun  jadwal  imsakiyah  Ramadan  yang dikeluarkan  setiap tahun, termasuk menyebarkannya dalam majalah Al Munir, majalah yang didirikan oleh H. Abdullah Ahmad. Beliau bahkan menyusun penanggalan selama satu abad (100 tahun), yang sampai sekarang masih terpajang di Surau Syekh Inyiak Jambek di Tengah Sawah, Bukitinggi. diterbitkan  setiap  tahun  atas  namanya  mulai  tahun  1911  M.

Inyiak Djambek juga telah menuliskan beberapa karyanya tentang Ilmu Falak, penentuan bulan Ramadan, dan bulan Syawal, yaitu:(1) Buku berjudul iyā’ an-Nirin fi ma yata‘allaqu bi al- Kaukabin  yang  diterbitkan  pada  tahun  1909;  (2)  Buku  Natijah Durriyyah,  Jadwal  waktu  salat  dan  penentuan  kapan  datangnya bulan Ramadan dan bulan Syawal untuk masa 100 tahun. Jadwal ini (3) Tabel mengenai perhitungan waktu yang diberi judul fi jadwal al-Sittiniyah alIstidraj ad-Darb  wa  al-Qismah  yang  diterbitkan pada tahun 1913; (5) Kitab berjudul Muqaddimah al hisab al- Falakiyah Mukhta¡ar  Ma¯a’assa’id  al itsbat  al-Kawakib. Kitab ini selesai ditulisnya di Mekah tahun 1315 H atau 1896 M. Karya ini ditulis dalam Bahasa Arab dan masih dalam bentuk manuskrip, terdiri dari lima pokok pembahasan di antaranya mengetahui bulan Arab, Kusuf, dan Khusuf serta mengetahui arah kiblat. Selain buku tentang ilmu Falak beliau juga menulis buku tentang Tarekat.


Metode Riset

Tulisan ini menitikberatkan pada pemikiran teologi pembaharuan yang dilakukan oleh Sjech M. Djamil Djambek di ranah minang. Sepanjang yang penulis ketahui belum ada penelitian yang melihat bagaimana gambaran gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Sjech M. Djamil Djambek di ranah minang. Dalam metode pengumpulan data, dilakukan pelacakan terhadap kajian atau penyelusuran data yang terkait secara dengan topik yang dibahas. Pengumpulan literatur yang terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu latar belakanng atau sejarah serta fase dalam kemunculan gerakan pembaharuan teologi di Minangkabau dan model gerakan pembaharuan yang dikembangkan oleh Sjech M. Djamil Djambek.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan mempergunakan instrumen data dokumentasi . Proses pengumpulan data dengan dari desk-review atas sumber tertulis. Analisis Data melalui content analisis data yang dimulai dari reduksi data, dan diakhiri dengan verifikasi data. Tiga tahapan analisis dimaksudkan untuk mengubah data menjadi lebih berarti dan bermakna. Tahapan analisisi itu diharapkan diperoleh pemahaman analisisi tentang isu yang diangkat. Reduksi data dilakukan mengacu pada pertayaan penelitian yang diikuti dengan pemilahan secara tematis data yang terkumpul. Verifikasi data sebagai tahapan analisis dilakukan dengan tekhnik perbandingan dan kontekstualisasi data. Data dikembalikan ke dalam konteks social untuk memperoleh pemaknaan atas data.


Latar Belakang dan Fase Gerakan Pembaharuan di Ranah Minang

Para peneliti sejarah menggambarkan tentang kondisi masyarakat Minang pra agama Islam masuk ke Minangkabau sudah beradat. Gambaran adat yang banyak dipengaruhi pemahaman dan kepercayaan animisme (kepercayaan terhadap roh nenek moyang) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda gaib). Masyarakat Minangkabau juga memiliki kepercayaan bahwa di luar alam semesta terdapat kekuatan yang besar yang mengatur seluruh alam ini. Sehubungan dengan masuknya agama Hindu dan Budha ke Minangkabau, maka adat dan budaya masyarakat bercampur dengan kepercayaan agama tersebut.

Pemahaman Keagamaan di Minangkabau yang selama ini sering diungkapkan sebagai dasarnya bernilai filosofis dan tinggi itu sesunguhnya hanya tinggal sebagai semboyan saja, meski pelaksanaan masih berjalan dengan baik, namun ajaran Islam pada satusisi di Minangkabau sudah banyak yang bertentangan dengan syarak (agama Islam) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini, di sebabkan karena ketika datangnya Islam, terjadi benturan antara Islam sebagai agama dan kebudayaan baru dengan kepercayaan dan kebudayaan lama (Hindu-Budha) yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat, masyarakat Minangkabau mudah nerima kebudayaan baru, namun tidak mudah meninggalkan terdisi/budaya yang sudah mereka anut.[18]

Menghadapi hal ini, para penyiar agama Islam lebih mengutamakan mengambil sikap toleransi dengan kebudayaan yang sudah ada. Ditambah lagi dengan kenyataan, Islam yang datang ke Minangkabau, sejak awal adalah bercorak sufistik (tasawuf atau tarekat) Fakta ini telah melahirkan Islam dengan wajah tersendiri, seperti Islam yang masih tetap saja memuja kuburan, wali (orang yang disucikan), dan sebagainya. Sebelum  masuknya pembaruan Islam di Minangkabau,  penulis  berpendapat, bahwa masyarakat Minangkabau mulai mengalami kemunduran dari segi akidah, sebab perilaku  dan  keyakinan  masyarakat  Minangkabau  masih  bercampur  baur  denga pengaruh-pengaruh lama, seperti kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu- Budha.[19] Masyarakat secara prakteknya sudah mempercayai Islam sebagai agamanya, namun secara keyakinannya masih bercampur dengan kepercayaan terdahulu. Masyarakat masih belum bisa membedakan masa yang syirik dan yang benar. Tempat- tempat yang dianggap sakral (keramat) dijadikan tempat berdoa dan meminta ilmu kesaktian. Penyimpangan ini terus berjalan sampai datangnya pembaruan Islam yang dibawa oleh ulama-ulama muda yang baru pulang dari Mekkah.

Dari kondisi masyarakat minang menyebabkan kebangkitan Islam, baik dalam bentuk pemurnian maupun pembaharuan. Pembaharuan Islam lokalitas itu secara jelas terlihat dan mengkristal dalam bentuk gerakan Paderi dan gerakan Kaum Muda. Dalam serangkaian kebangkitan Islam Minangkabau itu tidak pernah lepas dari bebagai konflik dengan melibatkan berbagai unsur dan kelompok masyarakat, serta nilai-nilai yang komplek yang melingkupinya.[20]

Awal abad ke-20 banyak anak muda Minangkabau belajar ke Mekah  untuk pendidikan atau pun mendalami agama, mereka disana mulai belajar membaca kitab bahasa Arab dan mempelajari ushul fiqih dan fiqih, selain itu mereka terpengaruh oleh  gagasan-gagasan  pembaharuan yang  sedang  berlangsung  di sana. [21] Akhirnya mereka bermaksud untuk pulang ke kampung halaman sebagai seorang alim yang diakui oleh masyarakat. Setelah itu, mereka mulai melakukan pembaharuan melalui pendidikan seperti berdirinya sekolah-sekolah di Minangkabau. Berakhirnya  Perang Paderi  pada  tahun  1837  ditandai  dengan  jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda. [22] Meskipun Paderi gagal memenangkan pertempuran dengan Belanda, namun Paderi berhasil memodernisasi masyarakat Minangkabau memberi pengaruh yang signifikan. Kaum Paderi berhasil memperkuat pengaruh agama  Islam  dalam  sistem  kemasyarakatan.  Perumusan  “Adat  Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”  merupakan keberhasilan gerakan ini  mempersatukan antara agama dengan sistem budaya. Perumusan sistem adat baru ini menekankan perbedaan antara adat asli yang lama dengan adat Islamiyah, yakni adat  yang sesuai dengan ajaran Islam. konsekuensinya agama dan para ulama memperoleh kedudukan yang lebih baik dan upaya-upaya pendidikan agama pun semakin banyak dilakukan. [23]

Maka bisa ditarik sebuah benang merah bahwa terjadinya pergolakan sosial dan intelektual di Sumatera Barat bermula pada Awal abad ke-20, dengan kembalinya tiga orang ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di kota Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul, Inyik Abdullah Ahmad. Mereka kemudian membawa semangat modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Walaupun sebelum abad ke-20 pembaharuan di Minangkabau sebenarnya sudah digerakkan oleh tiga haji yang datang dari mekah pada tahun 1803, yaitu haji Miskin, haji Sumanik dan haji Piambang. Mereka dikenal dengan kaum paderi. Istilah Paderi sendiri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang artinya ulama yang berpakaian putih. Atau dapat dikatakan bahwa kaum Paderi disebut sebagai kaum putih, mereka dikenal sosok yang senantiasa mengenakan sorban dan jubah putih.[24] namun  gerakan  ini  belum  dalam  bentuk pembaharuan yang lebih terarah dan terlihat dalam berbagai model  hanya dalam proses pemurnian Islam itu sendiri.[25]

Kemunculan g erakan pembaharuan Islam di Minangkabau telah dimulai awal abad ke-20. Dimana sebagaimana telah disebutkan di atas tadi awalnya memang merupakan gerakan untuk memurnikan ajaran agama Islam dari pengaruh taqlid, bid’ah dan khurafat dengan mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Para peneliti tentang pembaharuan di Minangkabau banyak membagi fase pembaharuan dengan tiga fase dalam pembaharuan di Minangkabau. Pertama, Pada fase ini terjadi gerakan pembaharuan di gerakan Minangkabau yang dilangsungkan oleh Tuanku Nan Tuo dari Koto Tuo dilangsungkan dengan cara-cara yang propoganda dengan tujuannya ialah mengubah sifat jahiliyah Minangkabau. Kedua, gerakan pembaharuan dalam fase kedua yaitu bersifat militerisme atau perperangan, antara Kaum Adat dan Padri dengan bertujuan untuk memurnian  ajaran  Islam. Ketiga, dalam  fase  ini  bertujuan  untuk  mengubah perilaku  masyarakat  yang  masih  berbau dengan  taqlid, bid’ah, khurafat, tahayul, syirik yang masih dilaksanakan oleh masyarakat masa itu,  pembaharuan ini yang dipelopori oleh Sjech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bersama muridnya, yaitu Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Syeikh Abdullah Ahmad, dan Sjech Abdul Karim Amrullah dengan cara pergolakan intelektual, dengan menyebarkan pembaharuan lewat Pendidikan. [26]


Model Teologi Pembaharuan M. Djamil Djambek


1. Teologi Pembaharuan dengan Model Jalur Pendidikan (Surau)

Inyiak Djambek memang sangat terkenal sebagai tokoh Pendidikan. Model Lembaga pendidikan atau penyampaian konsep teologi adalah melalui lembaga Pendidikan non formal melalui surau. Surau dijadikan basis pembaharuan  pendidikan  Islam informal. Ide-ide pembaharuan terlihat dalam bentuk adanya penanaman nilai-nilai akidah islamiah dan akhlakul karimah. Sebagaimana di ketahui bahwa surau merupakan lembaga  pendidikan  termasyhur  di Minangkabau.

Sebagaimana diketahui bahwa dinamika gerakan pembaharuan berbasis pada pendidikan dan sosial begitu sangat signifikan. Walapun tantangan besar yang didapatkan dalam ranah pendidikan Islam tradisional mengalami tranformasi pasca diperkenalkannya model pembelajaran Barat pada abad ke-19 dan awal ke-20. Bahkan gerakan modernisasi pendidikan Islam saat itu terus digencarkan, pasalnya surau yang ada di Sumatera Barat sering juga dipersoalkan otoritasnya.[27]

Inyiak Djambek sendiri mendirikan dua bangunan surau, yaitu Surau Inyiak Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi dan Suara Kamang.  Selain  sebagai  pusat  penyebaran  Islam,  surau  juga dijadikan tempat pertemuan ulama yang sepaham, sekaligus tempat pertemuan bersejarah. Surau bukan hanya pusat kajian dan telaah ilmu-ilmu agama, belajar baca-tulis Al-Qur’an maupun bahasa Arab, tetapi juga sebagai tempat menyebarluaskan Islam, membentuk ukhuwah dan persaudaraan antarumat, mendiskusikan permasalahan umat,  dan  memperkuat  gerakan  sosial  politik  menyusun  strategi melawan penjajah Kolonial Belanda dan Jepang.[28]

Dalam pelaksanaanya, pendidikan dan pengajaran di surau meliputi tiga hal, yaitu: pertama, pendidikan agama: mengajarkan akidah, syariat, dan akhlak mulia, diikuti dengan pengajaran Islam yang mudah dipahami dan diamalkan. Kedua, pendidikan adat: mengajarkan adat budaya Minangkabau  yang berisi sopan santun dan budi-bahaso,  yaitu pengajaran  Islam dalam  masyarakat  agar sejalan  dengan  filosofi  masyarakat  Minangkabau  (ABS-SBK), yang dilakukan dengan strategi “syara’ mangato adat mamakai”. Ketiga,  pendidikan  silat:  mengajarkan  strategi  bela  diri  dalam mempertahankan agama dan adat masyarakat Minangkabau.[29]


2. Teologi Pembaharuan dengan Model Jalur Dakwah atau Tabligh

     Teologi pembaharuan juga dilakukan d alam bentuk dan metode dakwah, tabligh, dan ceramah. Berdakwah merupakan salah satu metode transfer ilmu dan transmisi nilai-nilai keagamaan yang tepat melalui jalur pendidikan Islam formal maupun informal, tanpa mengeluarkan biaya yang besar, baik sarana maupun prasarana. Berdakwah atau bertablig secara tidak langsung merupakan penyampaian  syiar dan  pendalaman  nilai-nilai  keagamaan. Masyarakat diajak untuk  menghadiri majelis ilmu dan zikir bersama, menyimak, mengkaji, dan mendiskusikan segala problematika kehidupan sehari-hari dalam perspektif agama. [30]

     Berdakwah secara bil- lisan dan bil hal dapat pula menyadarkan umat akan perannya di dunia sebagai makhluk Tuhan dan sekaligus makhluk sosial. Dalam mengembangkan ide pembaharuannya melalui dakwah, Inyiak Djambek melakukan pendekatan secara persuasif, komunikatif, kompromistis,  menghargai,  dan tetap  menjalin  hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang menentang atau tidak sepaham dengannya. Tablig yang dilakukannya berbentuk tablig akbar di depan umum, wiridan, tausiyah maupun event dakwah masyarakat lainnya, baik di mimbar maupun dalam gerakan sosial lainnya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih aktif melakukan dakwah kemana-mana. Untuk mencegat dan mengusir penjajah Belanda, ia juga mendirikan Barisan Sabilillah yang melatih kaum muda  serta  mengadakan  tablig  di  berbagai  event  keagamaan maupun adat.

3. Teologi Pembaharuan dengan Metode Diskusi

Dalam berbagai kesempatan Inyiak Djambek berupaya agar setiap gagasan dan pemikirannya dapat diterima, dimengerti, dipahami, dan dipraktikkan oleh umat dalam kehidupan sehari-hari. Beliau berusaha mengubah pandangan dan praktik ajaran Islam secara membabi buta, jumud, dan taklid. Ia membangkitkan pola pikir kritis dan kreatif terhadap kekinian dan senantiasa mengembalikannya  kepada dasar hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw. Bahkan Inyiak Djambek menggeser tradisi baca kitab kuning menjadi pengajian masalah kehidupan sehari-hari (daily life).

Semua ini dimaksudkan untuk memberikan kesan dan pesan bahwa agama Islam bersifat universal, diperuntukkan  bagi siapa saja, dan mudah untuk dipahami dan diamalkan. Dalam pidatonya, Inyiak Djambek berupaya meluruskan dan membersihkan  akidah umat dari unsur-unsur  tahayul, bidah,  dan khurafat.  Beliau  menentang upacara  adat  menujuh  hari, empat puluh hari, atau seratus hari bagi orang yang sudah meninggal. Ia menjelaskan  kepada  kaum  adat  bahwa  acara  tersebut  tidak ada dalam Al-Quran dan Sunah Rasullah Saw. Dalam setiap tablignya, beliau sering mengkritisi amalan suluk dalam tarekat Naqsabandiah. [31]Bahkan Inyiak Djambek menggeser tradisi baca kitab kuning menjadi pengajian masalah kehidupan sehari-hari (daily life).[32]

Inyiak Djambek juga ikut dalam perseteruan antara kaum tuo dan kaum Mudo di Sumatera Barat Konflik Kaum Muda dan Kaum Tua terus mengalami ketegangan, perlawanan yang lebih serius lagi terhadap kalangan pembaharu datang dari kalangan Islam tradisi (KaumTua).  Ini  terjadi  pada  waktu Syekh  Ahmad  Khatib  mulai  melancarkan  pemikiran  dari Mekkah. Kecamannya mengenai terekat dijawab oleh Syekh Muhammad Saad bin Tanta’ di Mungka (Syekh Mungka) dan Syekh Haji Muhammad Ali bin Abdul Muthalib (Syekh Khatib Ali) di Padang yang juga menerbitkan tulisan tentang ini.

Debat umum tentang masalah Tarekat ini diadakan pula oleh ulama kedua belah pihak.Tahun 1930 M, ulama di daerah Agam mengadakan pertemuan di Masjid Sianok Bukittinggi  tempat  kedua  belah  pihak  memperoleh  kesempatan  mengemukakan pendapatnya. Dalam tahun 1905 M. pertemuan yang lebih besar diadakan di Bukit Surungan di Padang Panjang tentang terekat Naqsabandiyah. Hadir pada pertemuan itu antara lain Syekh Abdullah Ahmad. Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek dari kaum muda, Syekh khatib Ali, Syekh Abbas dari kalangan kaum tua. Pada tahun yang sama di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Di semua tempat itu kedua belah pihak tidak beranjak dari pendirian masing- masing.[33] Debat dan polemik antara kedua kelompok ini berlangsung dalam masa yang cukup panjang, melibatkan banyak tokoh, menggunakan banyak dalil dan bahkan menghasilkan kepustakaan yang lumayan. Terlepas dari berbagai aspek lain yang timbul dari akibat polemik tersebut, masyarakat Minangkabau dapat memetik hikmanya. Bahwa berkembangnya kajian ilmiah keIslaman, baik di kalangan muda, maupun di kalangan tua. Mengenai masalah-masalah seperti usalli, talqin, ru’yah, Keramat, ijtihad dan takliq kedua belah pihak tetap memegang pendirian masing-masing. Dalam mempertahankan pendirian terhadap serangan Kaum Muda, kalangan Kaum tua juga mempergunakan cara-cara yang dipakai Kaum Muda.


Kesimpulan

Gelombang gerakan pembaharuan yang muncul di dunia Islam telah menyebar dalam berbagai bentuk ide pembaruan. Sehingga Upaya ini melibatkan berbagai model dan pendekatan dalam rangka memadukan keaslian ajaran Islam dengan kebutuhan kontemporer umat Muslim. Dalam hal ini pembaharuan dari berbagai sisi salah satunya pembaharuan dalam bidang teologi atau aqidah. Pembaharuan juga masuk ke ranah Minang melalui berbagai gelombang yang muncul setidaknya 3 fase yaitu Pertama, Pada fase ini terjadi gerakan pembaharuan di gerakan Minangkabau yang dilangsungkan oleh Tuanku Nan Tuo dari Koto Tuo dilangsungkan dengan cara-cara yang propoganda dengan tujuannya ialah mengubah sifat jahiliyah Minangkabau. Kedua, gerakan bersifat militerisme atau perperangan, antara Kaum Adat dan Padri dengan bertujuan untuk memurnian  ajaran  Islam. Ketiga, dalam  fase  ini  bertujuan  untuk  mengubah perilaku  masyarakat  yang  masih  berbau dengan  taqlid, bid’ah, khurafat, tahayul, syirik yang masih dilaksanakan oleh masyarakat masa itu.

Salah satu tokoh pembaharuan dalam bidang teologi yang muncul itu adalah Sjech. Muhammad Djamil Djambek yang juga menimba ilmu ke Mekah. Ide-ide pembaharuan yang diusung oleh Inyiak Djambek adalah tentang Aqidah yang disebut dengan teologi pembaharuan dengan jalan memberantas kemunculan takhyul, bidáh dan khurafat yang muncul di masyarakat ranah minang. Teologi pembaharuan yang dilakukan oleh Sjech M. Djamil dengan berbagai model dan pendekatan. Jalur yang dipakai dengan Pendidikan, ceramah dan diskusi dengan berbagai tokoh. Ide pembaharuannya bersifat persuasif, komunikatif, kompromistis, dan tetap menjalin hubungan yang harmonis para penentang yang tidak sepaham dengannya.


Reference

Alhidayatillah, Nur, ‘Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam’, An-Nida’, 42.1 (2018), pp. 87–100 <http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Anida/article/view/9340>

Arya, Bima, ‘Pemikiran Syekh Muhammad Djamil Djambek Tentang Konsep Bertabligh Dalam Penyebaran Islam Di Minangkabau ( 1903-1947 )’, Jurnal Pembaruan Pendidikan Islam, 7 (2023), pp. 24450–58

Azizah, Faras Puji, Syahrul Rahmat, Lidia Maijar, A’zhami Alim Usman, and Zainal, ‘Pembaharuan Islam Di Minangkabau Pada Awal Abad XX’, Rusyidiah: Jurnal Pemikiran Islam, 3.2 (2022), pp. 212–28

Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Penerjemah Nanag Tahqiq, Jakarta: Pustaka Antara, 1995

Bukhari, ‘Akulturasi Adat Dan Agama Islam Di Minangkabau’, Al-Munir, I.1 (2009), pp. 49–63

Bukhari, AKULTURASI ADAT DAN AGAMA ISLAM DI MINANGKABAU Tinjauan Antropologi Dakwah, Jurnal Ilmiah Dakwah dan Komunikasi, AL-Munir 2 Vol I No.1 April 2009

et all, Fitri, ‘Tokoh Pelopor Islam Di Sumatera Barat Pada Zaman Kolonial’, Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama Dan Humaniora, 2018, pp. 16–23

Hamka, Ayahku Agama  di  Sumatera, Jakarta: Jayamurni, 1967

Hidayat, M Riyan, ‘Analisis Historis Kritis’, 2022 (2022), pp. 185–98

Ilyas, Ahmad  Fauzi,  “Syekh  Ahmad  Khatib  Minangkabau  Dan  Polemik  Tarekat Naqsyabandiyah Di Nusantara,” Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (2017)

Irgfan, Muhammad, ‘Paradigma Islam Rasional Harun Nasution : Membumikan Teologi Kerukunan’, Agama, JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi 1.2 (2018)

Kamal, Tamrin,  Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau Konsep Pembaharuan Hamka Awal Abad Ke-20, Padang: Angkasa Raya, 2006

Latief, Sanusi, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumetera Barat

Letmiros, L Maulana, M. A., “Pengaruh Pemikiran Muhammad Bin Abdul WahhabTerhadap Kaum Paderi Di Minangkabau,” Jurnal Multikultural 3, no. 2, 2024

Mulkhan, Abdul Munir, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: SM Press, 1993

, Riwayat Hidup Dr. H.  Abdul  Karim  Amarullah  dan Perjuangan  Kaum

Munir, Ghazali, ‘Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi’, Jurnal THEOLOGIA, 23.1 (2017), pp. 17–35, doi:10.21580/teo.2012.23.1.1757

Nashir, Haedar,  “Purifikasi Islam Dalam Gerakan Padri Di Minangkabau,” Unisia 31, no. 69 (2008)

Nasution, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Nelmaya” Akar Teologi Puritanisme di Minangkabau; Kajian Pemikiran Teologi Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik” Makalah S3 AFI Tahun 2024

Niti Prawiro, Wahono, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta: LKiS

Ritonga, A. Rahman,  “Syech. M. Djamil Djambek: Pendidikan Akidah Menuju Kehidupan yang Bermoral”, Makalah Seminar Nasional pada Peringatan Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

________A.Rahman, “Syech. M. Djamil Djambek: Pendidikan Akidah Menuju Kehidupan yang Bermoral”, Jurnal Analisa STAIN Bukittinggi, Vol.4 No.2, 2007

Rivauzi, Ahmad, ‘Pertubuhan Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau’, Turast : Jurnal Penelitian Dan Pengabdian, 7.1 (2019), pp. 109–26, doi:10.15548/turast.v7i1.181

Said, Bustami Muhammad Said, Mafhum Tajdid al-Din, terj. Afifi Fauzi Abbas, Kuwait : Dar al Da’wah, 1984

Sanusi, Ihsan, ‘SEJARAH KONFLIK KEBANGKITAN ISLAM DI MINANGKABAU: Sebuah Tinjauan Awal Terhadap Proses Kemunculannya’, Khazanah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 3798 (2018), pp. 33–48, doi:10.15548/khazanah.v0i0.13

Siswayanti, Novita, ‘Muhammad Djamil Djambek: Ulama Pembaharu Minangkabau’, Jurnal Lektur Keagamaan, 12.2 (2014), pp. 479–98 <https://jurnallekturkeagamaan.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/45>

Siwayanti, Novita, Muhammad Djamil Djambek: Ulama Pembaharu Minangkabau,  Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Syafrina, Yelda,  “Fase  Dalam  Gerakan  Pembaharuan  Islam  di  Minangkabau:  dari Reformis Ke Modernis,” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam 9, no. 2 (2021)

Syalafiyah, Nurul, and Budi Harianto, ‘Pembaharuan Dakwah Pendidikan Islam Di Sumatera Barat’, J-KIS : Jurnal Komunikasi Islam, 01 (2020), pp. 120–37

Syamsuddin, Fachri, ‘Pembaharuan Islam Di Minangkabau Awal Abad XX: Studi Terhadap Pemikiran Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Dan Syekh Abdul Karim Amrullah’, Disertasi, 2004, pp. 1–253

Tarihoran, Adlan Sanur, ‘“Maliek Bulan” Sebuah Tradisi Lokal Pengikut Sufism Syattariyah Di Koto Tuo Agam’, : : Journal of Islamic & Social Studies, 1.1 (2015), pp. 33–44

Tarihoran, Adlan Sanur, Sjech M. Djamil Djambek Pengkritik Tarekat  yang Moderat, Majallah Koordinat Balai Diklat Keagamaan Padang, Edisi 4 Juli-Agustus 2008

———, ‘Sjech m. Djamil Djambek Pengkritik Tarekat Yang Moderat Di Minangkabau’, Al - Hurriyah, 12.2 (2011), pp. 1–13

Ummi, Rengga  Chaniago,  “Nasionalisme Akar  Dan  Pertumbuhan Di  Minangkabau,”Khazanah:     Jurnal     Sejarah     dan     Kebudayaan     Islam     10,     Nomor,     (2020


[1] Adlan Sanur Tarihoran, Lecturer and Student at Faculty of Ushuluddin, Adab and Dakwah, State of Islamic University, Jln Gurun Aur Kubang Putih Bukittinggi, Indonesia, email: adlansanur@uinbukittinggi.ac.id

[2] Nunu Burhanuddin, Lecturer and professor at Faculty of Ushuluddin, Adab and Dakwah, State of Islamic University, Jln Gurun Aur Kubang Putih Bukittinggi, Indonesia, email:nunuburhanuddin@uinbukittinggi.ac.id

[3] Nur Alhidayatillah, ‘Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam’, An-Nida’, 42.1 (2018), pp. 87–100 <http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Anida/article/view/9340>.

[4] Bustami Muhammad Said, Mafhum Tajdid al-Din, terj. Afifi Fauzi Abbas, (Kuwait : Dar al Da’wah, 1984), h. 25

[5]Abdul Munir Mulkhan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam tarjih Muhammadiyah,(Yogyakarta: SM Press, 1993), hal.6

[6] Sekolah Tinggi and others, ‘MODEL PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DARI’, 2.2 (2023), pp. 155–78.

[7] Faras Puji Azizah and others, ‘Pembaharuan Islam Di Minangkabau Pada Awal Abad XX’, Rusyidiah: Jurnal Pemikiran Islam, 3.2 (2022), pp. 212–28.

[8] Fitri et all, ‘Tokoh Pelopor Islam Di Sumatera Barat Pada Zaman Kolonial’, Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama Dan Humaniora, 2018, pp. 16–23 .

[9] Andi Rika Nur Rahma dan Hanan Assagaf, TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION, Jurnal Aqidah-Ta Vol. VIII No. 2 Thn. 2022, hal.129

[10] Muhammad Irfan, ‘Paradigma Islam Rasional Harun Nasution : Membumikan Teologi Kerukunan’, Agama, JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi 1.2 (2018), 103–22

[11] Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, hal.1

[12] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal.55

[13] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Penerjemah Nanag Tahqiq, (Jakarta: Pustaka Antara, 1995), hal.1

[14] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, (Jakarta: Serambi,2004), hal 20

[15] Adlan Sanur Tarihoran, Sjech M. Djamil Djambek Pengkritik Tarekat  yang Moderat, Majallah Koordinat Balai Diklat Keagamaan Padang, Edisi 4 Juli-Agustus 2008, hal.21

[16] Sanusi Latief, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre Sumetera Barat, 2002), h. 56

[17] A.Rahman Ritonga, “Syech. M. Djamil Djambek: Pendidikan Akidah Menuju Kehidupan yang Bermoral”, Jurnal Analisa STAIN Bukittinggi, Vol.4 No.2, 2007, hal. 151

[18] Bukhari, ‘Akulturasi Adat Dan Agama Islam Di Minangkabau’, Al-Munir, I.1 (2009), pp. 49–63.

[19] Adlan Sanur Tarihoran, ‘“Maliek Bulan” Sebuah Tradisi Lokal Pengikut Sufism Syattariyah Di Koto Tuo Agam’, : : Journal of Islamic & Social Studies, 1.1 (2015), pp. 33–44.

[20] Ihsan Sanusi, ‘SEJARAH KONFLIK KEBANGKITAN ISLAM DI MINANGKABAU: Sebuah Tinjauan Awal Terhadap Proses Kemunculannya’, Khazanah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 3798 (2018), pp. 33–48, doi:10.15548/khazanah.v0i0.13.

[21] Ghazali Munir, ‘Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi’, Jurnal THEOLOGIA, 23.1 (2017), pp. 17–35, doi:10.21580/teo.2012.23.1.1757.

[22] Fachri Syamsuddin, ‘Pembaharuan Islam Di Minangkabau Awal Abad XX: Studi Terhadap Pemikiran Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Dan Syekh Abdul Karim Amrullah’, Disertasi, 2004, pp. 1–253.

[23] Tamrin Kamal,  Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau Konsep Pembaharuan Hamka Awal Abad Ke-20 (Padang: Angkasa Raya, 2006), hal.23

[24] Sabilla Hidayani and Br Tarigan, “Kaum Modernis Di Nusantara : Gerakan Paderi,”Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences 3 (2022): 205–22

[25] Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, ‘Pembaharuan Dakwah Pendidikan Islam Di Sumatera Barat’, J-KIS : Jurnal Komunikasi Islam, 01 (2020), pp. 120–37.

[26] Yelda  Syafrina,  “Fase  Dalam  Gerakan  Pembaharuan  Islam  di  Minangkabau:  dari Reformis Ke Modernis,” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam 9, no. 2 (2021)


[27] M Riyan Hidayat, ‘Analisis Historis Kritis’, 2022 (2022), pp. 185–98.

[28] A. Rahman Ritonga, “Syech. M. Djamil Djambek: Pendidikan Akidah Menuju Kehidupan yang Bermoral”, Makalah Seminar Nasional pada Peringatan Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, hal. 5

[29] Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H.  Abdul  Karim  Amarullah  dan Perjuangan  Kaum Agama  di  Sumatera, (Jakarta: Jayamurni, 1967), h. 280-281

[30] Bima Arya, ‘Pemikiran Syekh Muhammad Djamil Djambek Tentang Konsep Bertabligh Dalam Penyebaran Islam Di Minangkabau ( 1903-1947 )’, Jurnal Pembaruan Pendidikan Islam, 7 (2023), pp. 24450–58.

[31] Novita Siswayanti, ‘Muhammad Djamil Djambek: Ulama Pembaharu Minangkabau’, Jurnal Lektur Keagamaan, 12.2 (2014), pp. 479–98 <https://jurnallekturkeagamaan.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/45>.

[32] Adlan Sanur Tarihoran, ‘Sjech m. Djamil Djambek Pengkritik Tarekat Yang Moderat Di Minangkabau’, Al - Hurriyah, 12.2 (2011), pp. 1–13.

[33] Ahmad Rivauzi, ‘Pertubuhan Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau’, Turast : Jurnal Penelitian Dan Pengabdian, 7.1 (2019), pp. 109–26, doi:10.15548/turast.v7i1.181.